Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi[1][2][3]
(Hal-36) Jarak (distance) bisa
mendekatkan sekaligus menjauhkan. Karena, jarak bisa menciptakan rasa. Hubungan
berjarak, ketika ruang memisahkan orang-orang yang berkomunikasi, memang sebuah
persoalan. Ada kedekatan fisik yang hilang, namun ada kerinduan yang menjadi
energi tersendiri bagi sebuah hubungan. Selalu dekat secara fisik memang
memudahkan, tetapi juga berpotensi melahirkan kebosanan.
Ketika jarak menjadi tanda nonverbal, ukurannya pun menjadi relatif. Bukan soal jauh atau dekat, tetapi bagaimana kita mendudukkan jarak dalam sebuah konteks komunikasi secara tepat. Seperti melihat benda, dengan ukurannya yang beragam, hanya akan bisa kita lihat secara jelas dalam sebuah jarak tertentu. Logikanya, semakin dekat akan semakin jelas, tetapi ada batasnya. Lebih dekat lagi, bisa jadi benda itu justru kelihatan kabur dan kehilangan detail.
Sebagai tanda non verbal, jarak beroperasi pada metakomunikasi.
Keberadaannya sangat menentukan sukses tidaknya sebuah komunikasi. Dengan
menetapkan jarak secara tepat, komunikasi akan berlangsung dengan baik, ketika
tanda-tanda non-verbal sinergis dengan pesan verbal, begitupula sebaliknya.
Ketepatan dalam mengatur dan menentukan jarak bisa berdimensi budaya. Ukuran
jauh dekat menjadi sangat relatif. Ukuran ‘dekat’ di negara ini mungkin berbeda
dengan ukuran di negeri lain. Seperti anekdot dalam hubungan diplomatik antara
Amerika Serikat dan negara-negara Timur
Tengah. Singkat cerita, suatu saat, datanglah seorang diplomat Paman Sam itu ke
salah satu negara Arab.
Diplomat itu ingin mengesankan ‘keakraban ala Amerika’, sehingga me
(Hal-37) nampilkan sebuah kedekatan tertentu, dengan berjabat tangan dan senyum
merekah saat berjumpa mitranya. Alangkah kagetnya dia, ketika mendapatkan
respon jauh lebih ‘ dekat’ dari yang diharapkannya. Pejabat Arab itu merangkul
erat, untuk menandakan sebuah kedekatan di negerinya. Ada tafsir yang berbeda
dalam memaknai kedekatan. Ujungnya, komunikasi lintasnegara itu berjalan kurang
favorable.
Kedekatan juga berdimensi peran yang lahir dari sebuah hubungan (relationship).
Ada batas kedekatan tertentu yang harus ada dalam sebuah hubungan, seperti
suami istri, orang tua-anak, antar saudara, antartetangga, atau sesama rekan
kerja. Bayangkan, betapa tidak nyamannya seorang suami ketika memboncengkan
istrinya, tapi pasangannya itu menjaga jarak seolah-olah dia sedang bersama
tukang ojek. Atau sebaliknya, hubungan antar rekan kerja bisa terganggu jika
ada yang mencoba melebihi batas kedekatan, seperti melakukan sentuhan-sentuhan
fisik yang tidak perlu.
Ada saatnya kita harus dekat, juga ada waktunya kita menjauh. Gagal menjaga
jarak berarti kita gagal menjaga hubungan baik. Martin Buber mengistilahkannya
sebagai ‘Overrunning reality’ ketika kedekatan itu melebihi waktu,
interaksi dan kepentingan yang semestinya. Jika kehilangan kepekaan jarak (sense
of distance) yang diperlukan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sebuah
hubungan secara hati-hati.
Jauh lebih dari sekadar ‘ruang kosong’ yang memisahkan posisi seseorang
dengan yang lainnya. Namun, jarak sejatinya merupakan rumah ontologis
hubungan komunikatif antar orang. Dalam
komunikasi antarpersonal, jarak itu itu kita ciptakan sendiri, sesuai jenis
hubungan yang terjadi. Karenanya, ketentuan ‘jauh-dekat’ menjadi sangat lentur,
sesuai kebutuhan. Laurie Moroco mengistilahkannya sebagai jarak fenomenologis
(Phenomenological distance) yang sesuai untuk setiap hubungan yang spesifik.
Kebutuhan itu lahir dari persepsidan
keinginan orang-orang yang terlibat dalam komunikasi. Ini soal harapan orang
atas kita dan sebaliknya. Jenis-jenis hubungan memang akan membantu, meski tak
selalu disadari. Tak semua orang peka atas keinginan orang lain meskipun mereka
diikat dalam sebuah hubungan yang jelas. Seperti orang tua yang tak selalu
mengerti apa yang diinginkan anaknya, sehingga gagal menentukan jarak yang
tepat. Orang tua yang terlalu menjaga jarak, dengan alasan untuk menjaga
kredibilitas misalnya, akan kehilangan kesempatan untuk membangun
‘persahabatan’ dengan anaknya. Sebaliknya bagi orangtua yang terlalu
‘demokratis’ sehingga mereduksi jarak sedemikian rupa dengan anaknya,
bersiaplah untuk kehilangan kewibawaan.
Paada akhirnya, jarak adalah soal
pengakuan keberadaan orang lain. Sedekat apapun sebuah hubungan, pasti ada
jarak yang harus dikelola untuk mendukung suksesnya komunikasi interpersonal.
Mencoba mengerti dan memahami apa yang diinginkan oranglain adalah kuncinya.
Memang, berkomunikasi adalah soal kepekaan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar